Rabu, 13 Juli 2011

Mabuk Tuhan


Selamat malam makhluk Tuhan. Selamat bersiap menarik selimutmu. Hm. Ketika hanya ada kau dan bantal. Remang terik di kamarmu. Jernih pikiranmu. Lapang hatimu. Saat itulah saat terbaik kau berdialog dengan Zat kasih sayang. Seperti aku, malam-malam kemarin, juga sekarang.

Topik dialog berganti. Kadang mengeluh. Kadang Dia ku marahi. Kadang kujejali Dia dengan cerita senangku. Dan sering sekali aku merepotkanNya dengan meminta, meminta, dan meminta. Jika kau yakin Zat itu bahkan lebih dekat dari nadimu, maka romantisme kadang menguap hebat lewat ujung matamu. Kamu tak punya cerita untuk dibagi. Tapi matamu basah mengingatNya. Kenapa sayang? Ada apa? Dan lidahmu sukses menjadi kaku.

Aku sering begitu. Merasa bahwa sungai kuibaratkan sebagai waktu. Dan catatan dosaku sebagai perahu yang melintasinya setiap hari. Terus kuluncurkan bahkan hingga perahuku karam. Lelah sekali. Dan lelahku hanya untuk hancur dan hilang. Lalu kenapa? Kenapa suka sekali kulipat kertas menjadi perahu padahal jelas bahanku tak kebal basah. Lalu otakku malah ruwet. Kuubah posisi baring. Malah mulai gelisah. Dan bantalku terlanjur basah. Kamu pernah?

Hei saudaraku, jangan merasa beda. Jika sedih, menangislah. Airmata perlu untuk hidup. Meski Dia tak beritau dimana Dia simpan stok air asin dari balik retina. Tapi Dia sediakan berjuta liter tanpa satuan untuk kebutuhanmu. Untuk kesedihanmu. Untuk kodratmu.

Hm. Sampai situ tiba-tiba kamu ingin ada kepala lain di sebelah bantalmu. Kepala yg kamu harapkan isinya merupakan kloning dari partikel-partikel yang ada dalam pikiran megamu. Kamu ingin ada yang memanusiakan kamu. Kalau sudah begitu, biasanya kuambil telepon genggam. Hanya ada satu nama di kepala. Lalu gesit sekali jari-jari menari. Entah wangsit sastra dari bulan atau bantal, tapi ketika coba kubaca ulang pesan singkatku, aku puas. Puas skali. Aku tak salah. Tapi disitu kuselipkan banyak kata maaf. Untuk apa?

Saudaraku. Ketika bahkan jari pun tak butuh otak egoismu untuk berfikir, bercerminlah. Segala yang terjadi sekarang, adalah hasil karya kita tak mau berbagi semesta dengan yang lain. Dari mata kita, posisi yang tak sesuai dengan posisimu, langsung tak kau suka. Yang menyakitimu, menjadi pantas kau sakiti berlipat-lipat darimu. Yang kau cintai, harus memberi cinta ganda dari yang kau punya. Yang tertakdir pergi, kau paksa ulang alur cerita agar kembali disini. Dan yang lain menjadi murka pada kita. Padahal taukah kamu? Oranglain pun membutuhkan siklus untuk memperbaiki dirinya. Dan perbaikan itu untukmu.

Aku selalu tak sanggup meneruskan dialog intimku dengan Zat kasih sayang ketika sampai pada titik itu. Aku selalu ingin merubah dunia.Tapi aku lupa merubah diriku. Ketika benar aku berkomentar. Ketika salah aku beralasan. Sudah jelas begitu, masih sayang juga Dia padaku!

I'm hang over heels! Aku mabuk kepayang dengan yang diberi Tuhan. Ketika diuji pertanyaanku selalu sama, "WHY GOD? WHY?" Sedang Dia mengatur seluruh karyaNya tanpa perlu mendengar pendapatku. Aku lalu menciut sampai tertimbun selimut. Aku mengaku. Mengaku masih buta dan tuli mengungkap kamus semestaNya. Aku bukan Einstein, yang lalu pergi ke lab ketika penasaran. Aku cuma Andi Wibowo. Andi Wibowo yang kalkulatif dan tak mau rugi. Yang ketika tersudut dalam dialog absurd denganMu, hanya bisa merubah peran menjadi lelaki gagu.

Saudaraku. Kuminta besok mampu bangun dengan hati jauh lebih lapang. Kuajak semua yang kubenci dan membenciku bermain layangan membentuk lingkaran. Lalu aku bersyukur tiap kali bantalku basah. Ternyata Zat tak berwujud yang tak pernah bisa kulihat selama ini, benar-benar lebih dekat dari urat nadi.

"Begini nih Tuhan. Kalau aku mencoba mencari akarMu. Aku mabuk!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar